• Bagikan

Tangerang Selatan – Ciputat (16/08).

Puslitbang Sumber Daya, Perangkat, dan Penyelenggaraan Pos dan lnformatika, Badan Litbang SDM, Kementerian Kominfo bermaksud mengadakan kegiatan Konsinyasi Penelitian Over The Top (OTT) , acara dibuka oleh Ir. Bonnie M Thamrin Wahid, selaku Kepala Puslitbang SDPPPI. Pada pembukaanya, beliau menyampaikan pentingnya kajian ini karena desakan industry, untuk mendukung rencana draf Permen Kemkominfo melalui BRTI. Sinergisitas karena OTT tdk equal-playing field dengan OTT Asing, yang akan melihat bagaiamana penyeelnggara OTT bekerjasama secara mutlak, seperti penyelenggara jasa di kita.

Beliau pun mengutarakan bahwa Kewajiban pada OTT tidak ada, dibanding penyelenggara telko, memang awalnya OTT dibutuhkan untuk meningkatkan utilisasi daan pendapatan, lambat laun ttidak terjadi keseimbangan dalam bisnis. Utilisasi mengakibatkan jaringan telko jadi kurang, kerugian operator Tel hampir 600T karena OTT (2017, Ovum), rata-rata kerugian hingga 84 Triliyun pertahun. Pemerintah perlu mengatur tapi ranahnya bukan B2B, OTT kan yuridiksi Indonesia, data, keamanan, QoS harus diatur. Pemerintah harus adaa klausul2 kerjasama penyelenggara OTT dan Telko. Hasilnya akan diharmonisasi di BRTI

salah satu perwakilan dari PT Telkomsel yaitu Wizaldi Taufan Agusman menyebutkan bahwa ITU (International Telecommunication Union), sudah aware ada layanan yang mensubstitusi layanan telko. QoS sudah semakin baik untuk Voice over OTT, operator tidak bisa throttling

Di beberapa Negara sudah ada regulasi OTT, apabila tidak diatur maka akan berdampak pada operator yaitu keberlangsungan bisnis dan operator, dan perlu adanya regulatory inbalanced antara OTT dan operator. Faktanya dengan banyak OTT, traffic makin tinggi, dimana Operator harus meningkatkan capex (QoS) tapi tidak mendapatkan apapun.

Hal senada disampaikan oleh Danish selaku perwakilan dari PT Telkomsel, bahwa Yang paling penting adalah pengaturan pemerintah, dimana dampak OTT terhadap legacy revenue dan melakukan benchmark pada negara yang memiliki solusi. Butuh merubah formula PM tarif dengan adanya OTT. Tarif retail + tarif akses (sesuai pengunaan) untuk win win. AYCE -> 2014 untuk mengurangi scissor effect 5rb-15rb sebagai tarif akses untuk pembangunan jaringan dan layanan

Adapun FGD ini dihadiri oleh para peneliti Puslitbang SDPPPI serta dari Perwakilan PT Telkomsel